Rabu, 11 September 2013

Tri Hita Karana

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Salah satu bentuk dari hak asasi manusia yaitu hak asasi berpolitik (Sucipta,2011:81). Selain merupakan hak, politik juga merupakan kewajiban setiap warga negara dalam membangun suatu negara yang demokratis. Contoh dari kegiatan politik adalah pilkada. Sebagai warga negara yang baik kita wajib berpartisipasi baik sebagai pemilih atau yang dipilih dalam pilkada di daerahnya masing-masing.
Namun tidak dapat dipungkiri pelaksanaan pilkada di berbagai daerah sering menimbulkan kericuhan. Keributan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) memang menjadi fenomena yang menonjol akhir-akhir ini. Beberapa contoh kerusuhan akibat pilkada yang pernah diberitakan oleh media massa seperti pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau Sumatra, anggota KPUD di Jakarta yang telah terbukti melakukan korupsi dana pilkada, dan masih banyak lagi.  Dari sejumlah pilkada selama ini, sangat sedikit yang berjalan dengan mulus. Lebih banyak kegiatan demokrasi itu ditandai dengan konflik, bahkan disertai dengan tindakan anarkis. Tindakan tersebut disebabkan oleh kecurigaan mengenai pilkada yang tidak jujur, adil dan terintimidasi oleh politik uang. Sikap-sikap tersebut menjadi sebuah tanda bahwa dalam berdemokrasi kedewasaan belum menjadi mental masyarakat dan elite politik. Dengan kata lain, sebagian besar masyarakat dan elite politik tersebut belum mampu menunjukkan kematangan diri dalam berpolitik.
Bertolakbelakang dengan kericuhan-kericuhan yang sering melanda pesta demokrasi di beberapa daerah, pilkada yang baru-baru ini dilakukan di Bali yaitu pemilihan gubernur pada tanggal 15 Mei 2013, telah berlangsung dengan damai dan lancar. Dalam pemilihan ini berhasil dimenangkan pasangan Made Mangku Pastika dan Ketut Sudikerta sebagai Gubernur dan wakil Gubernur, dengan kemenangan selisih kurang dari  1%  dari pesaingnya, yaitu pasangan yaitu Anak Agung Ngurah Puspayoga - Dewa Nyoman Sukrawan.
Walaupun hasil yang berimbang, dengan peta kekuatan politik di masing-masing kabupaten yang berbeda-beda, namun tidak membuat kedamaian dan keutuhan Bali terusik. Sikap dewasa yang membuat masyarakat bali dapat mempertahankan keutuhannya dan kerukunan serta tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat anarkis. Sikap dewasa yang diterapkan oleh masayarakat Bali merupakan hasil dari penghayatan konsep Tri Hita Karana.
Tri Hita Karana mengajarkan bahwa setiap manusia harus mengadakan hubungan yang harmonis kepada Tuhan, sesama dan alam. Mengimplementasi ajaran ini dapat membuat segala kegiatan yang dilakukan berjalan lancar tanpa menimbulkan musibah termasuk dalam pilkada Bali 2013. Seluruh komponen masyarakat bali dan juga elite politik di Bali mengamalkan ajaran Tri Hita Karana. Pesta demokrasi di Bali ini pun berjalan lancar walaupun terdapat persaingan sengit dalam angka perolehan suara kedua pasangan. Masyarakat bali bisa mengontrolnya dan menahan diri dari sikap emosional yang dapat membuat tindakan-tindakan tidak terpuji. Sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pemahaman Tri Hita Karana pada seluruh komponen masyarakat dan pemerintah serta elite pilitik di Bali memiliki peran besar dalam kelangsungan pilkada Bali yang damai.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis kemudian mendalami lebih dalam mengenai Tri Hita Karana sebagai konsep yang menjadi kunci keberhasilan masyarakat Bali dalam mewujudkan pilkada Bali 2013 yang damai melalui pembuatan makalah yang berjudul Konsep Tri Hita Karana sebagai Dasar Pendewasaan Masyarakat dalam Pilkada Bali.




1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pemahaman konsep Tri Hita Karana sebagai dasar pendewasaan masyarakat dalam pilkada Bali?
2.   Bagaimana sikap-sikap yang mencerminkan kedewasaan dalam berdemokrasi sehingga telah terwujudnya pilkada Bali yang damai?
1.3  Tujuan
Adapun tujuan penulis membuat karya tulis ini, antara lain:
1.      Untuk mengetahui pemahaman konsep Tri Hita Karana sebagai dasar pendewasaan masyarakat pada pilkada Bali.
2.      Untuk mengetahui sikap-sikap yang mencerminkan kedewasaan berdemokrasi sehingga telah terwujudnya pilkada Bali yang damai.
1.4  Manfaat
Adapun manfaat penulisan yang ingin dicapai dari pembuatan karya tulis ini, antara lain:
1.         Bagi Penulis
Penulisan ini dapat memberikan pengalaman langsung kepada penulis dalam membuat makalah kewarganegaraan, selain itu juga menambah wawasan mengenai demokrasi khususnya mengenai pilkada yang demokratis.
2.         Bagi Pembaca
Manfaat yang dapat dipetik dari pembaca yaitu pembaca mendapatkan informasi mengenai cara mewujudkan kedewasaan dalam berdemokrasi khususnya dalam pilkada.



BAB 2
KAJIAN TEORI
2.1 Demokrasi
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat atau pemerintahan rakyat. Demokrasi juga dapat diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Itu berarti rakyat menunjuk wakilnya yang berasal dari rakyat untuk menduduki jabatan dipemerintahan dalam menyalurkan aspirasi rakyat demi kesejahteraan rakyat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi)

2.2 Pilkada
Pilkada atau pemilihan kepala daerah adalah pemilihan orang-orang untuk menempati jabatan dipemerintahan tingkat daerah yang dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pilkada digunakan untuk memilih Gubernur, Bupati, Wali Kota beserta wakil-wakilnya.

2.3 Tri Hita Karana
Tri Hita Karana merupakan ajaran dalam agama hindu yang menitik beratkan pada kerukunan dan kedamaian. Tri berarti tiga. Hita berarti sejahtera. Dan Karana berarti penyebab. Sehingga Tri Hita Karana padat diartikan sebagai tiga penyebab kesejahteraan. Bagian dari Tri Hita Karana tersebut adalah parahyangan, pawongan, dan palemahan. Parahyangan berasal dari kata “hyang” yang artinya Tuhan. Parahayangan berarti ketuhanan atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ajaran Tri Hita Karana ini Parhyangan ini memiliki arti hubungan yang harmonis kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pawongan berasal dari kata “wong” (dalam bahasa jawa) yang artinya orang. Pawongan adalah  hal yang berkaitan dengan orang dalam kehidupan masyarakat. Pawongan juga memiliki arti hubungan yang harmonis pada sesama manusia. Palemahan berasal dari kata “lemah” yang artinya tanah. Palemahan juga berati bhuwana atau alam. Dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah suatu pemukiman atau tempat tinggal. Dalam ajaran Tri Hita Karana disebutkan bahwa manusia harus menjaga hubungan yang harmonis kepada alam.




BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Pemahaman Konsep Tri Hita Karana Sebagai Dasar Pendewasaan Masyarakat Dalam Pilkada Bali
Pesta demokrasi terbesar di Bali telah usai beberapa waktu yang lalu. Pilkada Bali 2013 yang dilaksanakan pada Rabu, 15 Mei 2013 merupakan momen penting bagi masyarakat Bali untuk menentukan Gubernur Bali periode 2013–2018.  Pilkada Bali diikuti dua pasangan calon yakni Anak Agung Ngurah Puspayoga-Dewa Nyoman Sukrawan dan Made Mangku Pastika-Ketut Sudikerta. KPU Provinsi Bali menjadwalkan pleno penetapan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih pada Minggu, 26 Mei 2013. Rapat pleno akhirnya memenangkan pasangan Pasti-Kerta dengan selisih kedua pasangan 996 suara atau hanya sekitar 0,04 % dari lawannya. Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU Provinsi Bali perolehan suara yang didapat pasangan Pasti-Kerta berjumlah total 1.063.734, dan untuk masing-masing kabupaten/kota di Bali yakni di Kota Denpasar (104.429), Kabupaten Badung (131.978), Tabanan (123.291), Jembrana (61.816), Buleleng (220.702), Bangli (64.838), Karangasem (159.050), Klungkung (70.490) dan Gianyar (127.140) suara.
Hasil rekapitulasi ini memang banyak menuai protes dari berbagai pihak. Selisih yang kurang dari 1% suara memang tidak memuaskan masyarakat karena hasil yang “untung-untungan”. Belum lagi kecurigaan dan saling tuduh dalam pelanggaran pada saat sebelum pilkada ataupun saat penghitungan suara. Hal ini cenderung membuat isu adanya perpecahan pada masyarakat Bali karena kekuatan politik yang berbeda-beda di setiap kabupaten. Namun masyarakat Bali telah dewasa. Tidak terdengar tindakan-tindakan atau kegiatan anarkis yang dapat merusak kedamaian Bali. Walau persaingan sengit dalam pilkada tidak berarti seluruh pihak menghalalkan berbagai cara agar situasi dan keadaan sesuai kehendaknya.
Sikap dewasa memang sangat dikembangkan untuk menghindari keguncangan di Bali. Diterapkan suatu konsep yang dapat dipahami oleh masyarakat dalam pendewasaan ditengah pelaksanaan demokrasi ini. Konsep sederhana yang menekankan pada hubungan harmonis untuk mewujudkan suatu kedamaian dalam hidup bersama.
Tri Hita Karana merupakan pemahaman sederhana mengenai hubungan-hubungan dalam mewujudkan kedamaian dan kerukunan. Jika dihayati dengan baik, maka pelaksanaan pilkada yang anarkis tidak terjadi. Konsep ini dapat ditanam kepada setiap orang dan dapat diimplementasikan ke segala aspek kehidupan termasuk politik. Tri Hita Karana merupakan kunci dari keberhasilan Pilkada Bali yang berlangsung damai dan lancar. Dalam ajaran Tri Hita Karana disebutkan bahwa manusia harus menjaga hubungan yang harmonis kepada Tuhan, sesama, dan alam.
Pada zaman Majapahit Tri Hita Karana merupakan salah satu dari delapan belas rahasia sukses pemimpin besar Nusantara Gajah Mada pada waktu itu. Gajah Mada memasukkan konsep ajaran Tri Hita Wacana yang harus diikuti oleh para pemimpin Majapahit untuk mewujudkan cita-citanya mempersatukan Nusantara. Konsep Tri Hita Karana memang sudah diterapkan oleh Gajah Mada dan berhasil  membuat kerajaan Majapahit sebagai kerajaan besar dan disegani. Tri Hita Wacana yang dirumuskan oleh Gajah Mada, kini lebih dikenal dengan ajaran  Tri Hita Karana merupsksn sebuah doktrin yang dapat mewujudkan keseimbangan dalam politik di negeri ini. Pengimplementasian Tri Hita Karana secara utuh akan membuat negeri ini selaras, serasi, dan harmonis.
Konsep pertama dari Tri Hita Karana adalah Parahyangan, yang mengajarkan bagaimana hubungan antara manusia dan Tuhan. Apapun yang terjadi merupakan kehendakNya. Ajaran agama yang menjadi pedoman dalam mengadakan hubungan dengan Tuhan patut untuk terus didalami dan dilaksanakan sepanjang hidup untuk kehidupan moral yang lebih baik. Dalam ajaran agama hidup juga terdapat ajaran Karma Phala dimana setiap perbuatan akan mendapat hasil yang setimpal sesuai dengan tingkat baik dan buruknya. Itu semua merupakan kuasa Tuhan atau Sang Hyang Widhi. Begitu pula dalam berdemokrasi serta menjalankan pemerintahan, segala sesuatu tindakan harus tetap sejalan dengan ajaran agama, sehingga hasilnya pun akan baik dan tidak menimbulkan masalah.
Hari-hari sebelum Pilkada Bali diselenggarakan, seluruh pihak KPU Provinsi Bali melakukan persembahyangan hampir ke seluruh kabupaten di Bali, “nunas ica” memohon kelancaran pada saat pemilihan gubernur nanti. Bukan hanya itu, sesudah pilkada berlangsungpun, KPU Provinsi Bali juga menggelar sembahyang bersama forum komunikasi pimpinan daerah dan para peserta pilkada sebelum rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara di tingkat provinsi. Persembahyangan berjamaah dilaksanakan pada 24 Mei 2013 pukul 09.00 Wita di Pura Agung Jagatnatha Denpasar. Persembahyangan ini juga sebagai ucapan syukur karena tahapan-tahapan pelaksanaan Pilkada Bali dalam keadaan kondusif dan damai.  Hal ini merupakan cerminan, bahwa dengan hubungan harmonis terhadap Tuhan kegiatan-kegiatan yang dilakukan akan berjalan dengan lancar.
Konsep yang kedua adalah Pawongan, Pawongan mengajarkan untuk mengimplementasian hubungan yang harmonis antar sesama manusia. Memang tidak dipungkiri segala aspek kehidupan kita selalu membutuhkan orang lain.  Hubungan itu diwujudkan dalam berbagai konteks kehidupan, seperti juga pada politik. Dalam berpolitik sangat diperlukan hubungan yang harmonis kepada sesama manusia agar politik yang dijalankan tidak menyebabkan kerugian pada semua pihak terutama pada rakyat.

Pemahaman Pawongan sangat penting dalam kelangsungan pilkada di Bali. Salah satu wujudnya adalah ketika hampir seluruh masyarakat Bali menggunakan hak pilihnya menentukan siapa yang pantas menjadi orang nomer satu di Bali dalam pilkada beberapa waktu yang lalu. Walaupun angka golongan putih (golput) sekitar 26%, namun angka ini masih jauh lebih baik di beberapa daerah lain yang telah melangsungkan pilkada. Ini membuktikan masyarakat telah sadar bahwa partispasi setiap orang untuk mewujudkan Bali yang harmonis sangat penting, karena dengan memilih orang yang tepat maka keselarasan hubungan pemerintah dengan masyarakat akan membuat harapan tersebut terwujud.  
       ( http://antaranews.com/berita/37642/golput-pilkada-bali-capai-26-persen)
Hasil perolehan suara yang berimbang menunjukan bahwa setiap masyarakat memiliki pemikiran yang berbeda satu sama lain mengenai kandidat calon gubernur dan wakil gubernur. Namun ditengah berbagai pendapat, terdapat rasa saling menghargai terhadap perbedaan tersebut. Hasil yang telah ditetapkan dengan memenangkan Pasti-Kerta tidak membuat masyarakat yang mendukung pihak lawan, Puspoyoga-Sukrawan sampai melakukan hal-hal yang anarkis untuk membalikan keadaan yang ada. Kecurigaan akan kecurangan pilkada yang dapat menimbulkan anarkisme pada masyarakat juga dapat diredam dan diselesaikan melalui jalur hukum sesuai peraturan yang ada, tidak perlu dengan jalan kekerasan. Kesadaran akan konsep Pawongan dimana harus ada hubungan harmonis antar sesama membuat pilkada Bali menjadi damai.
Konsep yang ketiga adalah Palemahan yang menekankan pada hubungan antara manusia dan lingkungan. Lingkungan sangat penting dalam kehidupan manusia. Lingkungan yang baik akan membuat usaha yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan akan berlangsung dengan baik tanpa hambatan yang berarti. Oleh sebab itu kita baik sebagai masyarakat dan pemerintah harus koperatif dalam menjaga lingkungan untuk membuat situasi yang damai, tentram dan asri.
Saat menjelang pilkada Bali 2013, perang baliho memang terlihat jelas oleh masyarakat. Kader simpatisan saling adu dalam mengekspresikan bakal calon gubernurnya. Maraknya baliho atau spanduk memang tidak bisa dihindari karena merupakan “hiasan” dalam pesta demokrasi. Oleh karena itu, sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan, ketika pilkada usai para kader simpatisan segera menanggalkan baliho-baliho yang dipasang disepanjang jalan agar tidak merusak pemandangan. Ini dilakukan karena mereka memiliki kesadaran lingkungan berpengaruh terhadap kenyamanan setiap orang. Masyarakat khususnya para kader simpatisan mengerti bahwa mewujudkan pilkada yang damai bukan hanya sekedar membuat pilkada tidak berjalan anarkis, tetapi juga menjaga lingkungan yang tetap indah sehingga tidak membuat hambatan dalam mewujudkan situasi pilkada Bali 2013 yang damai, tentram dan asri.
         
3.2 Sikap-Sikap Yang Mencerminkan Kedewasaan Dalam Berdemokrasi Sehingga Telah Terwujudnya Pilkada Bali Yang Damai
Kesadaran dalam pemahaman Tri Hita Karana akan menumbuhkan sikap dewasa pada setiap orang. Dengan kedewasaan, maka kita dapat membangun demokrasi yang sehat dan berbobot dalam politik kita membutuhkan kedewasaan. Sikap menjadi modal sosial yang sangat penting. Sejumlah keunggulan akan didapatkan dengan mengembangkan sikap dewasa dalam politik.
Ketidakdewasaan memang merupakan penghambat bagi demokrasi yang sehat. Ini dapat terjadi karena ketidakdewasaan mematikan perwujudan demokrasi yang damai. Selain itu melanggengkan konflik dan sikap anarkis akan merusak pelaksanaan demokrasi yang kondusif. Tidak bisa dipungkiri bahwa pilkada merupakan satu instrumen yang sedang diupayakan untuk menumbuhkan demokrasi. Itu berarti kegagalan pilkada merupakan hambatan untuk membangun demokrasi. Dendam berkepanjangan akan menjadi bagian dari kehidupan berpolitik. Situasi seperti ini jelas tidak kondusif untuk perwujudan demokrasi. 
Sikap yang pertama dalam pelaksanaan kedewasaan politik adalah kemampuan menggunakan nalar sehat. Demokrasi hanya bisa berkembang secara sehat ketika ketika kita dapat berpikir dan bertindak rasional. Dasar untuk memperjuangkan kebenaran adalah nalar, bukan emosi atau tangan besi.  Sebagaimana pernah dikatakan Immanuel Kant, seorang filsuf politik dari Jerman, salah satu kebenaran dari rasionalitas adalah isinya dapat diterima oleh siapapun. Inilah yang disebutnya sebagai masuk akal. Artinya, apa yang diupayakan itu adalah sesuatu yang konkrit, dan bukan sebuah utopia. Dengan demikian perjuangan politik akan dapat diterima kalau itu memang sungguh-sungguh memiliki rasionalitas yang memadai. Dan tentunya adalah sikap dewasa pula untuk berani menerima kenyataan seperti ini dalam panggung politik.
Yang kedua adalah keberanian untuk menerima kekalahan. Ini merupakan implementasi dari sikap pertama. Dalam demokrasi harus disadari bahwa dalam kompetisi selalu ada pihak yang kalah dan pihak yang menang. Tanda kedewasaan di sini terlihat dalam hal kesediaan pihak yang kalah menerima kekalahan dan pihak yang menang mengapresiasi pihak yang kalah dalam kompetisi. Dalam hal ini tentu sikap kritis yang beretika perlu dihidupkan. Cara mengkritisi harus menunjukkan sikap kedewasaaan, yakni sopan dan santun serta elegan. 
Ketiga, kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara damai. Immanuel Kant, lewat bukunya Perpetual Peace tidak ada perdamaian abadi tanpa ada keberanian untuk mengupayakan penyelesaian masalah. Kemampuan untuk menjalankan hal ini tentu merupakan tanda dari kedewasaan dalam demokrasi. 
Keempat, kemampuan untuk menerima norma-norma hukum. Salah satu pilar demokrasi adalah rule of law. Jalannya demokrasi justru tergantung dari pengakuan terhadap aturan main. Kemampuan untuk mengikuti aturan main secara konsisten dan konsekuen merupakan salah satu tanda kedewasaan dalam berdemokrasi. Orang yang tidak mau berjalan dalam rel rule of law justru mengancam demokrasi yang damai. 
Kelima, kemampuan mengaku perbedaan yang ada. Tidak akan ada manusia yang identik dan sama di dunia ini. Yang ada adalah keunikan setiap pribadi. Dan ini merupakan kekayaan yang paling berharga dalam eksistensi manusia. Justru karena keunikan itulah manusia memerlukan yang lain. Dalam demokrasi pengakuan ini tentunya menjadi tanda kedewasaan. Artinya orang yang dewasa akan mampu menerima perbedaan bahkan berusaha untuk memelihat perbedaan, bukan justru sebaliknya. Sikap penyeragaman merupakan sikap yang berlawanan dengan sikap dewasa dalam berdemokrasi.
Sehingga dengan kemampuan untuk mengembangkan sikap dewasa oleh masyarakat, pemerintah dan elite politik, berbagai polemik hasil resmi pilkada Bali 2013, tidak membuat Bali mengalami keguncangan yang dapat merusak keharmonisan masyarakat Bali. Masyarakat Bali sudah terkenal sangat menjunjung budayanya yang adiluhung. Oleh karena itu perpecahan akibat perbedaan pandangan politik memang harus dicegah.
Bali sudah menjadi contoh yang baik dalam penerapan demokrasi,  sehingga semakin lama harus semakin baik. Hasil rekapitulasi resmi yang dipandang ada kesalahan yang berkaitan dengan perundang-undangan, maka dapat diselesaikan secara damai. Dalam menghadapi permasalahan mengenai kecurigaan tentang kecurangan dalam pilkada juga diselesaikan dengan nalar sehat tanpa emosi yang berlebihan. Perbedaan-perbedaan pendapat mengenai siapa yang lebih pantas untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan hal yang wajar. Hal tersebut dapat dijadikan pedoman untuk mengisi kekurangan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih untuk mewujudkan kondisi Bali yang terus membaik. Masalah jika dibesar-besarkan, juga hanya akan merugikan kita sendiri dan dampak sosialnya pun nanti akan tinggi. Hampir seluruh masyarakat Bali telah berpikir demikian maka tidak sampai berbuat hal-hal yang kurang dewasa hanya karena urusan pilkada yang dapat diselesaikan dengan kekeluargaan atau dengan jalur hukum tanpa melakukan kegiatan-kegiatan bersifat anarkis. Dengan kesadaran itu maka pilkada Bali 2013 dapat berjalan damai.


BAB 4
                                         PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Pilkada sebagai salah satu wujud dari pelaksanaan politik, wajib dijalankan oleh seluruh masyarakat secara demokratis. Berbagai polemik dalam pilkada dapat selesaikan dengan sikap dewasa tanpa tindakan anarkis. Sikap yang tidak dewasa memang merupakan penghambat bagi demokrasi yang sehat. 
Melalui konsep Tri Hita Karana, masyarakat, pemerintah dan elite politik dapat membentuk kesadaran tentang pentingnya sikap kedewasaan berpolitik melalui hubungan-hubungan yang perlu dijaga untuk membina kerukunan. Dalam ajaran Tri Hita Karana disebutkan bahwa manusia harus menjaga hubungan yang harmonis kepada Tuhan, sesama, dan alam. Sehingga pelaksanaan kegiatan politik Bali dapat berjalan harmonis.
Dalam politik kita membutuhkan kedewasaan untuk membangun demokrasi yang sehat dan berbobot. Keunggulan akan didapatkan dengan mengembangkan sikap dewasa dalam politik.

3.2    Saran
3.2.1   Bagi Pemerintah
Pemerintah wajib menggencarkan pelaksanaan pemilu dan pilkada yang jujur, adil dan bebas politik uang. Negara pun akan menjadi maju sebab pemerintahan diduduki oleh orang-orang yang berkompeten.
3.2.2   Bagi Masyarakat
Sebagai warga negara yang baik wajib ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik seperti pemilu dan pilkada baik sebagai pemilh atau yang dipilh. Pengawasan terhadap pelaksanaan politik oleh masyarakat sangat penting sebab akan membantu kelancaran dalam sistem pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA

Hendrastuti, Henny. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA/SMK Kelas XI. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.
di akses  tanggal 29 Juli 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi di akses tanggal 06 Agustus 2013
Sucipta, I Made. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Singaraja: CV. Bintang Prestasi

Yuliastuti, Rima, dkk. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA/SMK Kelas X. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar